Aku mendengar sebuah kisah tentang warna. Tentang bagaimana sebuah warna tercipta dari sebuah pertemuan.
Aku selalu hidup dengan keyakinan untuk tidak memiliki apapun. Tidak mengharapkan apapun. Tidak menginginkan apapun. Karena Aku sadar beberapa hal....
Perasaan bernama kecewa. Sungguh tidak mengenakan.
***
Hari itu Ayah mengajakku kesebuah pertunjukan teater wayang. Kisah Rama dan Shinta. Kata Ayah aku sebagai generasi muda. Harus tahu budayaku sendiri. Aku mencibir. Untuk apa?
Ayah selalu mengajak ku pergi setiap Minggu. Setiap Ayah libur kerja.
Hingga Ayah pergi. Tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Hari itu Aku tahu. Kita tidak boleh mempunyai seseorang. Karena mereka selalu pergi.
***
Aku besar tanpa segala hal-hal besar dalam hidupku. Hingga datanglah sebuah pertemuan.
***
Tanpa berbicara, dia hanya menangkap gerakan jemariku yang sedang menggenggam pulpen semakin melambat dan akhirnya terhenti. “Memang susah,” katanya tanpa sedikitpun memalingkan
pandangan dari bukunya. Di kemudian hari, baru aku tahu bahwa itu adalah kebiasannya. Membicarakan sesuatu tanpa menatap wajah lawan bicara. Aku pun tidak bisa berkata apa-apa selain mengehela napas panjang dan
menghempaskan tubuh ke sandaran kursi
***
Suatu hari, aku mencibir melihat langit di sore itu. Langit itu tersenyum malu dihadapanmu, pipinya merona merah menguapkan warna senja, hanya karena melihat senyummu. Hih!
Sambil tetap memandang senja. Kau tersenyum. Kemudian berkata. Pelan sekali,
"Aku jatuh cinta."
Aku mencibir.
"Dengan siapa?"
"Temanmu......"
***
Sejak saat itu aku berjanji. Untuk tidak memiliki apapun. Sekali lagi.
0 Korban:
Posting Komentar